Bisnis, Jakarta - Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya akan menggunakan rel eksisting. Ini dilakukan agar pembangunan proyek bisa dilakukan lebih cepat dan menyelesaikan persoalan perlintasan sebidang.

"Kereta cepat Jakarta-Surabaya diarahkan di jalur eksisting," kata Budi seusai bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu, 6 September 2017.

Pertemuan dengan Kalla dilakukan untuk membahas soal proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya dan Pelabuhan Patimban. Selain Budi, pertemuan tersebut dihadiri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoljono.

Budi mengatakan penggunaan jalur eksisting dilakukan agar pembangunan bisa cepat, karena stasiunnya akan tetap. Selain itu, penggunaan rel eksisting juga sekaligus diharapkan bisa menyelesaikan 500-800 perlintasan sebidang yang ada di jalur kereta antara Jakarta dan Surabaya. "Artinya memberikan banyak manfaat kepada banyak kota, tidak macet. Dan membuat daerah-daerah lebih safe," kata Budi.

Aspek keselamatan itu, kata Budi, juga untuk memenuhi amanat undang-undang soal perkeretaapian. Di perlintasan sebidang nantinya akan dibangun underpass atau flyover, tergantung kondisi lapangan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadi Muljono mengatakan bila tak ada perlintasan sebidang lagi, maka kecepatan kereta bisa mencapai 150 kilometer per jam. "Kenapa sekarang hanya 90 kilometer per jam? Karena banyaknya perlitasan sebidang," kata Basuki. Meski begitu, Budi berharap kecapatan kereta bisa di atas 160 kilometer per jam sehingga bisa menambah kapasitas penumpang.

Penggunaan jalur eksisting pada kereta cepat Jakarta-Surabaya juga bisa menekan biaya. Jika dulu diperkirakan nilai investasi memakan biaya Rp 80 triliun, maka dengan rel eksisting diperkirakan lebih murah lagi. Apalagi pembangunan flyover di perlintasan sebidang bisa dilakukan dengan cara yang lebih murah seperti flyover Antapani, Bandung. Basuki memperkirakan biaya proyek diperkirakan bisa ditekan sehingga menjadi Rp 50 triliun.

AMIRULLAH SUHADA