Bisnis, Jakarta - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini belum bisa diikuti oleh pemerataan. Dengan kata lain masih ada kesenjangan dari aspek pendapatan.

Bambang menyebutkan setidaknya ada empat hal yang mendorong terjadinya ketimpangan. Keempat hal itu adalah timpangnya akses layanan dasar, kualitas pekerjaan, pendapatan dan aset, serta rendahnya jaring pengaman. "Jadi pemerintah masih harus mengintervensi (tekan ketimpangan)," kata Bambang dalam diskusi di Jakarta, Jumat, 8 September 2017.

Menurut Bambang, fokus intervensi pemerintah ialah kepada kelompok masyarakat kelas bawah yang mencapai angka 40 persen dari total penduduk Indonesia. Pernyataan ini juga menanggapi data tren ketimpangan (gini ratio) cenderung menurun sepanjang lima tahun terakhir.

Pada September 2012 hingga September 2016, gini ratio Indonesia berturut-turut sebesar 0,41 ; 0,41 ; 0,41 ; 0,40 dan 0,39. Meski demikian, lanjut Bambang, penurunan gini ratio tidak selalu konsisten diikuti dengan penurunan kemiskinan.

Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Bambang menyatakan dalam 16 tahun terakhir tercatat rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di posisi 5,3 persen. Ke depan, kata dia, pemerintah memilih untuk mengejar pertumbuhan yang berkelanjutan dibandingkan menargetkan pada posisi yang tinggi.

Ekonom dari Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono mengatakan persoalan ketimpangan lazim dialami oleh negara-negara. Cina saja gini rationya menyentuh level 0,5.

Isu ketimpangan menjadi sensitif di Indonesia lantaran pendapatan per kapita penduduk rata-rata ada di posisi yang tanggung, yaitu sekitar US$ 3.800 per tahun. "Cina pendapatan rata-ratanya US$ 9.000. Sementara yang terendah kisaran US$ 2.000. Jadi relatif tidak sensitif," ucapnya.

Menurut Tony, langkah yang dilakukan pemerintah sudah tepat untuk menekan angkat kesenjangan, yaitu dengan pembangunan infrastruktur. Ia berharap pemerintah menaikkan anggaran untuk infrastruktur. "Tidak ada solusi yang tunggal, jadi harus dikeroyok (antarlembaga).”

ADITYA BUDIMAN