Nasional, Jakarta - Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (RUU Anti Terorisme) dapat dilakukan. Caranya, menjadikan penanggulangan terorisme sebagai kategori perang melawan terorisme.

"Pelibatan TNI dalam revisi RUU ini bisa jika dikategorikan sebagai keadaan perang," kata Jimly saat ditemui di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu, 31 Mei 2017. Namun, Jimly Asshiddiqie menambahkan, soal pemasukan kategori perang itu biar nanti diperdebatkan di DPR.

Baca juga: RUU Antiterorisme, Bisa Adopsi Inggris Soal Penahanan Terduga Teroris

Jimly Asshiddiqie mengatakan berdasarkan Pasal 30 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI tidak terlibat, melibatkan diri, dan dilibatkan dalam urusan non-pertahanan dan keamanan dalam arti luas. Namun, pelibatan bisa dilakukan dalam keadaan tertentu.

Pengaturan mengenai keadaan tertentu itulah, kata Jimly Asshiddiqie, yang disebut hukum dalam tata negara darurat. "Kalau ada dalam keadaan darurat, maka kekuatan militer itu bisa menjalankan fungsi sipil," kata Jimly. Contoh fungsi sipil yang dilakukan TNI dalam dalam situasi darurat perang adalah pengadilan militer. Pengadilan itu bisa memutus kasus perceraian orang, gugatan perdata, maupun bertindak sebagai pengadilan tata usaha negara.

Simak pula: Revisi UU Anti-Terorisme, Fadli Zon: Ini Isu Sensitif

TNI ikut berperan dalam penanggulangan terorisme ini muncul dari permintaan Presiden Joko Widodo agar pembahasan revisi RUU Anti Terorisme dipercepat. "Berikan kewenangan TNI untuk masuk dalam RUU ini. Tentu dengan alasan yang Menkopolhukam sudah siapkan," kata Presiden Jokowi dalam rapat kabinet paripurna di Istana Bogor, Senin, 29 Mei 2017.

AMIRULLAH SUHADA