Nasional Ada banyak hal yang membuat Sri Tentrem betah dan tidak ingin pindah dari rumah susun yang ia tempati. “Sejak pindah ke sini, hidup kami berubah,” katanya.

Sri Tentrem adalah penghuni rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Pulo Gebang, Jakarta Timur. Bersama sekitar 700 keluarga lain, Sri membangun kehidupan baru yang lebih layak. Mereka pindah dari kawasan pemukiman kumuh di Penjaringan, Waduk Pluit, Kemayoran, Kampung Pulo, Bukit Duri, Kampung Tengah, Pulomas, Kalijodo, dan Tambora.

Hunian yang layak memang menjadi salah satu masalah yang dihadapi warga Ibu Kota. Dalam sepuluh tahun, kebutuhan perumahan warga mencapai 700 ribu unit. Untuk memenuhi itu, pemerintah Ibu Kota menargetkan pembangunan perumahan sekitar 70 ribu unit per tahun. Untuk memenuhinya, pemerintah provinsi bekerja saja dengan pihak swasta untuk mewujudkan pemukiman layak bagi warga miskin.

Dengan kebutuhan 70 ribu rumah per tahun, 60 persen (42 ribu unit per tahun) diwujudkan dalam bentuk landed houses, sisanya 40 persen (28 ribu unit per tahun) dibuat dalam bentuk rumah susun. Rumah susun dibagi dalam tiga kategori: mewah (20 persen), menengah (40 persen), dan bawah (40 persen). Pembangunan 5.600 unit rumah susun kategori mewah sepenuhnya diserahkan kepada developer. Demikian pula 11.200 unit rumah susun kategori menengah, diserahkan pembangunannya kepada pengembang. Sedangkan untuk kategori bawah, pembangunannya melibatkan kerja sama pemerintah dan pengembang. Sebanyak 3.360 unit dibangun sendiri oleh pemerintah melalui APBD, sedangkan 7.840 unit dibangun oleh pengembang.

Melalui mekanisme ini, anggaran pemerintah provinsi tidak terlalu terbebani. Persoalan yang masih menghadang adalah pencarian lahan untuk pembangunan. Pemprov DKI Jakarta kemudian mengatasi keterbatasan ini dengan memanfaatkan lahan-lahan pemerintah yang tidak terpakai secara efektif, juga melalui pembayaran utang swasta dalam bentuk tanah.

Pembangunan perumahan bertingkat ini adalah upaya untuk memanusiakan warga Jakarta yang tinggal di permukiman kumuh dan kurang layak. Target pertama adalah memindahkan warga yang bermukim di tempat-tempat yang rentan terkena bencana alam, seperti bantaran kali dan waduk. Ribuan keluarga telah dipindahkan dari permukiman semi-permanen dan tidak layak di bantaran kali, kolong jembatan, dan pinggiran waduk ke rumah-rumah susun sederhana.

Dari semua warga, barangkali anak-anaklah yang paling bergembira dengan fasilitas rumah susun yang mereka terima. Selain mendapatkan rumah, mereka mendapatkan ruang bermain yang lebih luas berupa lapangan, taman, parkir, dan kebun. Selain itu, di setiap rusun dibangun Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang memiliki fasilitas berupa taman, perpustakaan, klinik, dan Posyandu. Bila warga mengalami masalah kesehatan, dokter-dokter muda yang disiapkan di rumah susun akan mendatangi unit-unit mereka.

Dengan semua perubahan hidup itu, tidak heran jika Sri dan penghuni lain betah tinggal di rusunawa dan tidak ingin kembali ke tempat lama.