Dunia, Den Haag--Suasana ceria muncul dari kerumunan orang yang berkumpul di tempat pemungutan suara di Den Haag, Belanda, hingga Ahad pekan lalu. Mereka adalah diaspora Turki di Belanda yang hendak memberikan suara dalam referendum konstitusi Turki.

Keluarga berkumpul bersama, anak-anak berdiri sambil menjilati es krim yang mulai meleleh. Beberapa perempuan mengenakan kerudung, sementara yang lain menggerai rambutnya yang dicat warna warni.

Baca: Warga Turki Antusias Ikuti Referendum Nasional di Belanda

Sejumlah pemuda saling berangkulan, tertawa dan berbicara dalam bahasa ibu mereka.

Mereka akan memberikan suara untuk referendum perubahan konstitusi negara asal mereka, yang tengah mencoba mengganti sistem negara dari pemerintahan parlementer menjadi presidensial.

Sekitar seperempat juta warga Belanda-Turki berhak memilih dalam referendum ini. Bersama satu juta lebih warga Jerman-Turki, warga diaspora ini akan turut menentukan masa depan Turki dari jauh.

Dua pemuda berusia 25 tahun rela menempuh perjalanan selama satu jam dari Rotterdam ke Haag. “Demi tanah air kami,” kata keduanya kepada BBC. Mereka memilih “ya” karena, “Erdogan adalah orang baik yang akan membangun Turki dengan lebih baik.”

Gairah serupa juga ditemui di Berlin, Jerman.

Baca: Jajak Pendapat Referendum Turki, Pendukung Erdogan Raih 52 Persen

Saat Ayfer Inci-Pekoz mengulurkan selebaran agar warga keturunan Turki menolak referendum, ajakan perempuan agen properti keturunan Turki ini ditolak oleh sebagian besar pemuda.

Salah seorang pemuda bahkan menerima selebarannya, tetapi kemudian menyobeknya hingga menjadi serpihan kecil. Di hadapan Inci-Pekoz.

Besarnya dukungan bagi Presiden Recep Tayyip Erdogan dari para pemuda keturunan Turki yang merupakan generasi ketiga bahkan keempat baik di Belanda dan Jerman, tak mengherankan banyak pihak.

Di Belanda, tangan pemerintah Turki telah lama menjangkau diasporanya melalui dana ke 150 masjid di seluruh Negeri Kincir Angin. “Diyanet, badan urusan keagamaan, didanai oleh pemerintah Turki untuk mengurus masalah keagamaan warga di Belanda,” kata Hakan Buyuk, jurnalis Turki- Belanda yang bekerja untuk tabloid Zaman Vandaag.

Baca: Sebut Merkel Pakai Cara Nazi, Jerman Sebut Erdogan Lampaui Batas

Penyebab lain, generasi ketiga dan keempat Turki yang lahir dan besar di Belanda juga kerap dianggap sebagai orang asing, hal yang membuat identitas Turki mereka semakin mengental. “Alasan ini menurut saya jauh lebih berpengaruh ketimbang pengaruh dari Ankara,” ujar Thijl Sunier, profesor antropologi budaya dari Universitas Free Amsterdam.

"Jika warga keturunan Turki terus dianggap sebagai orang asing meski lahir di Belanda, berbicara dalam bahasa Belanda dan berpendidikan Belanda, maka mereka akan selalu merasa menjadi warga Turki. Dan Erdogan menjadi pahlawan bagi mereka.”

Hal serupa juga terjadi di Jerman. Meski menjadi etnis minoritas terbesar di negara itu, sejumlah penelitian menunjukkan warga keturunan Turki lebih miskin dibanding warga keturunan negara Eropa Timur di Jerman.

Anak-anak mereka juga jarang menamatkan sekolah hingga ke perguruan tinggi. Pengangguran dan kemiskinan pun banyak ditemui dalam komunitas warga Jerman-Turki.

Akibatnya, banyak warga keturunan Turki merasa tersisihkan dari komunitas Jerman. Erdogan, memberikan apa yang mereka inginkan, menurut Sevil Özer, ketua lembaga swadaya masyarakat Jerman-Turki. “Dia menunjukkan dirinya mau mendengar masalah diaspora. Apalagi ketika ia menantang Kanselir Jerman Angela Merkel, kemarahan mereka seakan terwakili,” tutur Özer.

Tak heran jika partai penguasa pemerintah Turki, AKP, menang besar baik di Jerman dan Belanda. Mungkinkah kemenangan itu menunjukkan kemenangan pendukung referendum konstitusi Turki? Waktu yang akan membuktikan.

BBC | THE WASHINGTON POST | AP | SITA PLANASARI AQUADINI