Dunia, Jakarta -Bagi Selim Caglayan, referendum konstitusi Turki seperti sebuah kisah. Karena ketika semua ekspatriat Turki di seluruh dunia dapat memberikan hak suara yang akan menentukan perubahan fundamental dalam konstitusi mereka, jurnalis Turki yang sudah tinggal di Indonesia selama 11 tahun terakhir ini harus gigit jari.
Rupanya, Kedutaan Turki di Indonesia tidak membuka tempat pemungutan suara bagi warga Turki yang ingin mendukung, atau menolak referendum seperti Selim.
“Sayang sekali yang terjadi saat pemilihan di luar negeri dipenuhi dengan ketidakadilan dan tekanan. Bahkan di Indonesia tidak ada pemungutan suara,” kata Selim dalam surat elektronik kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Baca: Referendum Turki di Australia, Oposisi Erdogan Mengaku Ditekan
Sebagai warga Turki, Selim memang berkepentingan terhadap pelaksanaan referendum yang di negara asalnya akan digelar pada 16 April. Meski ada 18 butir perubahan terhadap Konstitusi 1982, menurut Selim, hal yang paling kontroversial adalah penggantian sistem pemerintahan parlementer menjadi pemerintahan presidensial.
“Sistem presidensial yang ditawarkan dalam referendum berbeda dengan sistem presidensial yang kita ketahui. Sistem presidensial yang diajukan merupakan penggabungan dari yudisial, legislatif dan eksekutif berada di tangan satu orang, yaitu Presiden Recep Tayyip Erdogan,” ujar dia.
Baca: Ratusan Diplomat dan Pejabat Militer Turki Cari Suaka ke Jerman
Selim menuding bahwa referandum menjadi hal sangat penting bagi Erdogan untuk menyelamatkan dirinya dari sejumlah kasus seperti kasus skandal yang melibatkan bankir Turki, pengusaha Iran dan beberapa anggota keluarga dari kabinet Erdogan hingga dugaan penyelundupan senjata ke Suriah.
Tak heran, menurut Selim, jika AKP, partai penguasa di Turki menggunakan segala cara untuk meraih kemenangan, yakni dukungan mayoritas terhadap referendum. Selim menyebut AKP bermain curang dengan mengatakan siapapun yang tidak memberikan "evet" atau “iya” sebagai pendukung teroris.
“Kampanye oposisi Erdogan juga tidak diberi kesempatan untuk berkampanye, beberapa dari mereka tidak mendapatkan izin untuk mengadakan rapat umum, dan tidak mendapatkan izin untuk pemberitaan di media. Bahkan pendukung pro-AKP melakukan penyerangan ketika pihak oposisi berkampanye,” ia menuturkan.
Baca: Pasca Kudeta, Turki Tangkap 113 Ribu Diduga Pendukung Gulen
Meski begitu, Selim cukup optimistis warga yang menolak referendum akan menang. Ia meyakini hal itu berdasarkan sejumlah hasil jajak pendapat yang digelar oleh lembaga terkemuka di Turki. Apalagi Abdullah Gul, bekas presiden sekaligus pendiri AKP dengan tegas menolak referendum tersebut.
“Kalau tidak ada permainan, hasilnya pasti referendum ditolak,” ucap Selim, yakin.
Sebab, jika referendum menang, Selim dapat membayangkan masa depan suram yang akan dihadapi Turki.
Sejak kudeta gagal pada 15 Juli 2016 lalu, rezim Erdogan telah memecat 134.194 pegawai negeri sipil. Mereka yang dipecat terdiri atas 7.317 akademisi dan 4.317 jaksa dan hakim. Sebanyak 95.458 orang ditangkap dan 47.685 lainnya ditahan.
Baca: Jajak Pendapat Referendum Turki, Pendukung Erdogan Raih 52 Persen
Kebebasan pers di Turki pun memburuk. Sebanyak 149 perusahaan media ditutup, sementara 231 jurnalis ditahan dengan tuduhan menjadi pengikut Fethullah Gulen, tokoh Islamis yang dituding berada di balik kudeta.
“Referandum akan memberikan kekuatan kepada Erdogan sehingga tak dapat dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dilakukannya kepada masyarakat. Jika ini berhasil dia dapat mengubah seluruh UU sesuka hatinya.”
Ia pun berharap warga Indonesia membuka mata atas apa yang dilakukan Erdogan selama ini sehingga tak mendukung referendum konstitusi Turki. “Wahai sahabat Indonesia, lihatlah apa yang dilakukan Erdogan saat ini di Turki. Jika tidak tahu tolong lihat lagi. Namun jika kalian mengetahuinya dan mendukungnya, berarti kalian sama zalimnya dengan dia.”
SITA PLANASARI AQUADINI
0 Response to "Eksklusif, Catatan Jurnalis Turki Soal Referendum Konstitusi"
Posting Komentar